Bom Ikan Harus Menjadi Musuh Bersama

  • Whatsapp

Sejarah tentang kapan dimulainya penggunaan bom untuk menangkap ikan di laut, berawal sejak terjadinya perang “permesta” pada tahun 1957 – 1959 di Sulawesi Utara. Ketika itu pasukan Tentara dari Pusat dalam jumlah yang banyak ditugaskan untuk menumpas gerakan “Perlawanan Rakyat Semesta” di Sulawesi Utara. Untuk mengatasi kebutuhan ikan untuk lauk pauk pasukan tentara dalam jumlah yang banyak, koki pasukan tentara tersebut mengajak beberapa orang nelayan utuk untuk mencoba menangkap ikan dengan menggunakan granat tangan, dan berhasil mengumpulkan ikan dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang singkat. Setelah itu, dia mengajarkan penggunaannya dan membagikannya kepada nelayan. Sejak itulah bom digunakan untuk menangkap ikan.

Fakta dahsyatnya daya rusak bom yang tidak saja membunuh ikan karna putusnya syaraf atau patahnya tulang belakang akibat getaran yang sangat kuat, juga berdampak buruk terhadap habitat dan ekosistem perairan. Karena itu di penghujung tahun 70-an, sejalan dengan pelarangan warga sipil menyimpan senjata api dan atau bom, pemerintah juga membuat kebijakan pelarangan penggunaan bom untuk menangkap ikan.

Bacaan Lainnya

Pelarangan tersebut, ternyata tidak efektif dan tidak berpengaruh signifikan terhadap penggunaan bom untuk menangkap ikan. Karena kendati nelayan tidak mendapatkan bom organik, mereka telah mempunyai kemampuan untuk merakit bom ikan dari bahan-bahan yang mudah ditemukan di lapangan seperti: botol bekas, puluk urea (matahari), korek api, sandal jepit, kantong plastik, benang dan lain-lain.

Dalam kondisi yang seperti itu, pilihan pemerintah untuk mengawal kebijakan pelarangan penggunaan bom dalam menangkap ikan, adalah menggalakkan pengawasan dalam upaya penegakan aturan pelarangan penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan dengan Sanksi pidana bagi pelaku penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (Dynamite Fishing) diatur dalam Undang-Undang 45 Tahun 2009 dalam pasal 84 ayat (1) sampai dengan ayat (4).

Sebelum diberlakukannya UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Wilayah laut Kabupaten mencakup perairan laut sejauh 4 mil dari garis pantai ke arah laut, dimana kabupaten mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan. Namun setelah diberlakukannya UU tersebut, maka kabupaten tidak lagi mempunyai wilayah laut (0 km), dan seluruhnya beralih menjadi wilayah laut provinsi berikut kewenangan-kewenangan yang terdapat dan melekat pada wilayah laut tersebut, kecuali perizinan usaha penangkapan ikan oleh nelayan kecil dengan armada < 5 GT. Hal tersebut diatur pada Bab V Bagian Pertama terkait Kewenangan Daerah Provinsi di Laut, yaitu pada Pasal 27 ayat 1 sampai dengan ayat 5.

Konsekuensi normatif dari peraturan tersebut bahwa jika terjadi perbuatan “destructive fishing” yang melanggar hukum di wilayah laut yang bersambung langsung dengan wilayah darat kabupaten pesisir, maka Instansi terkait (Dinas Perikanan) di kabupaten yang bersangkutan tidak diberi atau punya kewenangan untuk melakukan tidakan pencegahan dan penindakan, kecuali mengkoordinasikan atau melaporkannya kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, ataukah Polisi Perairan dan Pos Lanal Angkatan Laut setempat untuk melakukan tugas patroli pengawasan.

Untuk kasus Wilayah Kabupaten dengan rantang kendali yang jauh antara provinsi dan kebupaten menjadi kendala utama untuk melakukan pengawasan yang efektif dan efisien dalam hal koordinasi dan pembiayaan. Akibatnya masyarakat luas akan menuding Dinas Perikanan Kabupaten melakukan pembiaran dan tidak peduli terhadap aksi pengeboman ikan yang terus bahkan semakin intens dan berani oleh oknum pelaku yang memang menjadikan aktifitas tersebut sebagai ajang mencari nafkah atau keuntungan dengan merusak habitat dan ekosistem perairan laut.

Menyikapi hal tersebut satu-satunya solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir aksi pengeboman ikan, yaitu diaktifkannya kembali pengawasan berbasis masyarakat dengan memfungsikan ulang Kelompok Pengawas Masyarakat (POKMASWAS) yang telah dibentuk di setiap kabupaten atau kota pesisir dan pulau-pulau melalui Dinas Perikanan. Konsekuensinya bahwa Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi harus mencari formulasi dan mekanisme pembiayaan sesuai peraturan yang berlaku untuk menyiapkan fasilitas pengawasan berupa kendaraan air yang memadai dan mengalokasikan dana operasional untuk patroli pengawasan secara berkala dan terus menerus oleh PokWasMas di setiap Kabupaten atau Kota pesisir dan pulau-pulau.

Penulis : Zakaria Bakrie (Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kolaka Utara)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *