Zainul Muluk
(Anggota Bawaslu Kabupaten Kolaka Utara)
Setiap kali menjadi narasumber terkait pengawasan pemilu atau ketika mensosialisasikan pengawasan pemilu partisipatif, saya selalu ditanya seperti ini, mengapa Bawaslu selalu meminta warga melaporkan dugaan pelanggaran pemilu ? Bukannya Bawaslu dan jajarannya sudah digaji oleh Negara ? Kalau harus warga yang melapor baru pelanggaran diproses, lalu kerja Bawaslu apa ? Terus apa untungnya bagi warga yang melaporkan pelanggaran pemilu ke Bawaslu ?
Rupanya harapan Bawaslu agar publik berpartisipasi melaporkan dugaan pelanggaran pemilu, bagi warga terkesan lucu. Bukan cuma di kalangan masyarakat umum, di kalangan terpelajarpun belum bisa menerima ajakan Bawaslu ini. Menurut mereka yang punya tugas siapa ? Yang diminta melapor siapa ? Berkelit dengan alasan personil pengawas yang terbatas sama sekali belum bisa diterima warga. Sebab stigma di masyarakat, yang seharusnya menemukan pelanggaran pemilu itu yah pengawas pemilu. Dan pengawas pemilu pula yang punya kewenangan menindak kalau terjadi pelanggaran pemilu.
Kebanyakan warga tidak mau tau dengan keterbatasan SDM di jajaran pengawas pemilu. Sehingga alasan ini kurang pas di telinga publik. Lebih baik cari argumentasi lain yang lebih meyakinkan. Mengapa publik harus berpartisipasi melaporkan pelanggaran pemilu ? Karena tidak semua kejadian disaksikan oleh pengawas pemilu, pasti ada yang luput dari pantauan. Partisipasi warga dibutuhkan, karena begitu banyak pihak yang harus diawasi. Ada KPU dan jajarannya, peserta pemilu, ASN, Pejabat Negara, Kepala Desa dan perangkatnya, TNI, POLRI, dan pemilih itu sendiri.
Sementara pihak – pihak yang harus diawasi oleh Bawaslu ini tidak hanya melakukan kegiatan yang sifatnya resmi dan terbuka. Tidak jarang ada kegiatan yang sengaja dibikin senyap, tertutup dan rahasia. Untuk kegiatan resmi dan terbuka, seperti kegiatan yang dilaksanakan oleh KPU dan jajarannya, termasuk kegiatan peserta pemilu yang sifatnya legal dan tidak rahasia, Bawaslu tidak perlu menunggu laporan masyarakat. Pengawas Pemilu sendirilah yang musti proaktif turun lapangan menyaksikan langsung apa yang terjadi. Namun dalam hal aktivitas yang sifatnya tidak resmi, tertutup, dan rahasia, luput dari pantauan pengawas, sangat pantas kalau Bawaslu berharap diberitahu. Karena Bawaslu bukan Tuhan yang maha tahu.
Tidak hanya itu. Kita juga menganut system pemerintahan demokrasi. Kedaulatan di tangan rakyat. Pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedangkan pemilu adalah sarananya. Melalui pemilu inilah kita memilih pemimpin dan wakil yang akan menentukan kebijakan di negeri ini secara periodik. Apabila aturan main pemilu sengaja dicederai dikhawatirkan pemilu tidak lagi berfungsi sebagai sarana untuk menyeleksi putra – putri terbaik negeri ini yang akan menduduki jabatan-jabatan terhormat dan menentukan.
Kalau pelanggaran pemilu dibiarkan berlalu, maka orang-orang yang tidak pantas jadi wakil rakyatpun bisa ikut terpilih. Kewenangan yang diberikan rakyat dikhawatirkan akan disalahgunakan, bukan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, tapi dipakai untuk mengurus kepentingan sendiri. Kalau di pemilu saja berani curang, lebih-lebih kalau kewenangan sudah ada ditangan.
Tantangan Partisipasi
Bentuk partisipasi ideal yang paling diharapkan Bawaslu kepada publik adalah, pihak yang menyaksikan pelanggaran pemilu, datang langsung ke kantor pengawas pemilu melaporkan pelanggaran yang disaksikan, lengkap dengan bukti-buktinya.
Sementara pelanggaran pemilu bukanlah bentuk pelanggaran yang langsung menimbulkan kerugian secara fisik ataupun materi. Berbeda dengan pelanggaran pidana umum, seperti tindak pidana penipuan atau penganiayaan. Pihak korban bisa langsung melapor ke polisi tanpa diminta, karena kerugiannya langsung mereka rasakan. Sedangkan dampak buruk pelanggaran pemilu sifatnya jangka panjang dan perlu nalar untuk memahaminya.
Makanya, hampir tidak ada orang yang dengan inisiatif sendiri mau melaporkan pelanggaran yang disaksikan, kecuali ada kepentingannya. Misalnya sama-sama peserta pemilu di daerah pemilihan yang sama. Melaporkan pelanggaran supaya pemungutan suara diulang, sehingga ada jalan untuk menambah suara. Fakta ini merata di seluruh negeri. Tidak peduli apakah orang terpelajar, akademisi, aktivis demokrasi, lebih-lebih warga biasa.
Di beberapa daerah juga masih sangat kental budaya kekeluargaan, budaya tidak tegaan atau sungkan kalau harus melaporkan orang yang dikenal apalagi kalau yang melanggar itu ada hubungan kerabat. Tidak hanya itu, kebanyakan orang tidak mau pusing. Ngapain melapor, cari penyakit saja. Publik harus terus diedukasi. Bukan hanya oleh Bawaslu, tapi semua pihak bertanggungjawab memajukan kecerdasan demokrasi warga Negara, temasuk oleh partai politik.
Namun pada situasi saat ini, dengan kian majunya teknologi informasi, harapan Bawaslu agar public turut berpartisipasi dalam pengawasan pemilu mendapatkan angin segar. Keadaan zaman yang berubah dari manual ke digital, semakin mempermudah siapa saja untuk berpartisipasi dalam pengawasan pemilu. Bawaslu tidak perlu lagi meminta warga melaporkan langsung pelanggaran yang disaksikan ke kantor pengawas pemilu. Warga cukup diedukasi bentuk-bentuk pelanggaran pemilu dan cara merekam peristiwa pelanggaran yang disaksikan tanpa dicurigai, serta kemana informasi pelanggaran itu disampaikan.
Dengan jaringan internet yang semakin merata, warga tidak perlu bergeser dari tempatnya untuk meneruskan informasi pelanggaran ke pengawas pemilu. Pengawas pemilu di semua level cukup mempublikasi seluas-luasnya nomor WA atau telegram resmi lembaganya ditambah pesan, “rekam pelanggaran yang anda saksikan, lalu kirim ke nomor ini 081xxxx”
Prinsipnya, jangan dibikin ribet, mudahkan semudah-mudahnya. Warga diyakinkan kalau peran mereka sangat penting dalam menjaga kualitas demokrasi. Pemilu bermartabat bukan semata karena penyelenggaranya, tapi akan terwujud kalau publik juga turut berpartisipasi.