Zainul Muluk (Pemerhati Pemilu)
Koluttimes-Beberapa pekan lalu salah satu baliho bakal calon presiden di simpang empat tugu kelapa jadi trending topik di Forum Komentar Kolaka Utara. Pasalnya, baliho tersebut terpasang di halaman pojok sebuah madrasah. Publik sudah tahu kalau masjid, sekolah, rumah sakit, gedung pemerintah musti steril dari kegiatan politik.
Simpang empat tugu kelapa merupakan jantung kota Lasusua, tempat paling sexy Se-Kolaka Utara. Sedangkan pojok madrasah tsanawiyah laksana halaman depan sebuah koran. Space iklan paling strategis. Siapapun melintas di tugu kelapa dipastikan menengok ke arah pojok madrasah mau dari arah manapun. Semua rebutan untuk pasang iklan di tempat itu. Makanya sampai hari ini tidak pernah kosong dari berbagai jenis reklame.
Peraturan KPU terkait Kampanye, melarang Parpol yang sudah ditetapkan sebagai peserta pemilu berkampanye sebelum masuk tahapan kampanye. Sedangkan pengertian kampanye dalam undang-undang pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan citra diri. Bentuknya bisa pertemuan terbatas, pemasangan alat peraga kampanye, kampanye di media sosial dan lain – lain.
Jadi larangan ini hanya untuk Partai Politik peserta pemilu tahun 2024. Peserta pemilu ada tiga. Pertama Parpol untuk pemilihan DPR & DPRD. Ke-dua Perseorangan untuk pemilihan DPD. Ke tiga Pasangan calon presiden dan wakil presiden. Calon DPR, DPRD, DPD dan pasangan calon presiden belum ditetapkan. Saat ini yang resmi sebagai peserta pemilu baru satu yaitu Partai Politik.
Adapun yang dimaksud citra diri adalah logo dan nomor urut. Ada dua logo parpol di baliho yang di soal itu, ada pula foto ketua parpol yang menegaskan kalau baliho balon presiden itu resmi kegiatan parpol. Jadi hanya unsur kegiatan peserta pemilu dan citra diri yang terpenuhi. Masih debateble. Belum sempurnah sebagai kegiatan kampanye.
KPU dalam suratnya Nomor 766 Tanggal 27 Juli 2023 menghimbau partai politik agar tidak memasang alat peraga sosialisasi yang menyerupai alat peraga kampanye di tempat yang dilarang : sekolah, perguruan tinggi, tempat ibadah, rumah sakit dan bangunan pemerintah. Pasal yang dijadikan dasar himbauan adalah pasal 69 dan 71 PKPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum.
Istilah menyerupai alat peraga kampanye tidak dikenal dalam peraturan KPU tentang kampanye. Sehingga frasa tersebut kurang greget untuk menertibkan. Demikian juga istilah sosialisasi dan pendidikan politik. Dua istilah ini baru muncul dalam Peraturan KPU Nomor 15 / 2023 tentang kampanye. Dalam undang – undang nomor 7 / 2017 tentang pemilu dan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang tahapan dan jadwal penyelenggaraan pemilu tidak ada istilah tahapan sosialisasi dan pendidikan politik.
Sekiranya tahapan sosialisasi dan pendidikan politik ini mau diatur juga, Sebaiknya tahapan ini masuk juga dalam Peraturan KPU tentang tahapan dan jadwal pemilu, sehingga tegas kapan batas waktunya. Dari Tanggal berapa dan berakhir tanggal berapa. Jika aturan kampanye mau diterapkan pula di masa sosialisasi, maka seharusnya ada frasa yang berbunyi, “larangan dalam kampanye berlaku secara mutatis mutandis pada tahapan sosialisasi.
Dari sisi waktu, tahapan kampanye dimulai Tanggal 28 November 2023 sampai dengan 10 Februari 2024. Jadi menurut saya larangan di Pasal 71 itu nanti sepenuhnya berlaku pada saat masuk tahapan kampanye. Himbauan yang dilayangkan KPU maupun Bawaslu kepada Partai Politik lebih karena posisi kasus mengarah pada fiktif negatif, atau sebuah kejadian yang sejatinya bukan pelanggaran, namun jika tidak direspon dengan benar bisa mempengaruhi trust publik kepada lembaga, bisa-bisa dikira tidak kerja.
Sementara pasal 69 adalah larangan bagi parpol peserta pemilu sebelum masuk masa kampanye. Jadi hanya ditujukan kepada partai politik. Bagaimana dengan yang statusnya baru bakal caleg. Bakal caleg bukanlah peserta pemilu, jadi belum ada larangan kampanye yang dilanggar meskipun di balihonya terdapat logo dan nomor urut. Sebab semua itu inisiatif individu bakal caleg, bukan atas nama partai, belum tentu diketahui oleh ketua dan sekretaris Parpol. Kecuali di baliho itu terdapat foto ketua atau sekretaris Partai politik yang menunjukkan kalau baliho itu benar – benar kegiatan dari partai politik.
KPU membolehkan Partai Politik peserta pemilu melakukan sosialisasi dan pendidikan politik di internalnya dengan terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis kepada KPU dan BAWASLU, namun tidak boleh ada kalimat ajakan. Sekiranya mau memasang alat peraga di tempat umum seperti baliho dan media sosial, maka dipastikan nir citra diri, identitas dan ciri-ciri khusus atau karakteristik. Kalimat-kalimat ini sangat perlu penjelasan dari KPU apa sesungguhnya yang dimaksud dari pengaturan ini.
Inilah konsekwensi terlalu jauhnya jarak antara penetapan partai politik dan tahapan kampanye. Para bakal caleg sudah tidak bisa tahan diri untuk segera menyapa pemilih. Sejak Parpol peserta pemilu ditetapkan, dimana-mana baliho sudah berhamburan, nanti Tanggal 14 Juli 2023 baru keluar aturan. Sementara KPU di daerah belum juga melakukan koordinasi kepada stekholder untuk mensosialisasikan aturannya, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebelum masa kampanye.
Repotnya lagi, dalam PKPU 15 tahun 2023 sama sekali tidak mengatur sanksi apa yang dikenakan kepada peserta pemilu jika melanggar larangan. Misalnya terbukti Parpol pasang baliho kampanye sebelum masa kampanye. Tidak jelas apa sanksinya. Di pasal 76 hanya menyebutkan dikenai sanksi sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai pemilu dan peraturan perundang – undangan lainnya. Padahal dalam undang-undang sendiri sanksi itu tidak diatur.
Adapun mengenai Peraturan daerah tentang ketertiban umum. Kalau memang baliho – baliho yang bertebaran itu ada yang melanggar maka itu menjadi kewenangan Polisi pamong Praja untuk menertibkannya. Publik bisa langsung melaporkan kepada Polisi Pamong Praja untuk ditindaklanjuti, karena kalau dilaporkan kepada Bawaslu ujung-ujungnya hanya akan direkomendasikan ke Pol PP juga. Lagi pula tidak ada kewajiban bagi pengawas pemilu mengawasi rangkaian peristiwa yang bukan termasuk tahapan pemilu.
Terlepas baliho – baliho itu mengandung potensi pelanggaran atau tidak, bagi saya, daripada dilarang-larang juga tidak jelas apa sanksinya, mendingan dibiarkan saja ramai. Yang penting tidak mengganggu ketertiban umum, dan berdiri pada tempat yang tidak dilarang. Bukankah sebuah pesta memang sebaiknya meriah. Disambut dengan semarak.
Baliho partai dan bacaleg yang bertebaran di berbagai tempat menjadi penanda kalau Pemilu semakin dekat. Setidaknya membantu kerja KPU mensosilisasikan pemilu kepada khalayak ramai. Biarkan saja baliho – baliho itu jadi iklan layanan masyarakat untuk memicu meningkatnya tingkat partisipasi pemilih di Kolaka Utara.
Bukan begitu sampu ?